Rabu, 29 April 2009

bell pasi

BAB I
PENDAHULUAN
Dengan adanya perkembangan pola pikir manusia perubahan terhadap pelayanan kesehatan pada masyarakat yang diutamakan untuk mencapai dan mewujudkan derajat kesehatan secara optimal dan terarah. Arti kesehatan itu menurut UU Kesehatan No.23 tahun 1992 BAB I pasal 1 yang menyebutkan bahwa kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Dengan paradigma baru fisioterapi Indonesia yang sangat relevan dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang merupakan salah satu unsur kesehatan umum dari tujuan pembangunan Nasional, maka terjadi pola perubahan dan fungsi fisioterapi dalam melakukan intervensi profesi yang mencakup upaya-upaya ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ) sebagai pelaksana, pengelola, pendidik dan peneliti atau pengamat. Hal tersebut nantinya akan di wujudkan dalam fragmentasi pelayanan fisioterapi di berbagai bidang yang di lakukan oleh fisioterapi profesional dengan latar belakang kemampuan atau kualifikasi yang berbeda. (Heri Priatna, 2001).

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bell’s palsy merupakan lesi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik) (Thamrinsyam,1991).
Bell’s palsy lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelumpuhan saraf kranialis yang lain. Kelumpuhan ini ditandai dengan mulut tertarik pada salah satu sisi. Penderita tidak dapat mengangkat alis atau mengkerutkan dahi. Pada saat menutup mata, mengangkat sudut mulut, menggembungkan pipi, bersiul dan mencucu akan terjadi deviasi kearah yang sehat. Sehingga menimbulkan kelainan bentuk wajah yang menyebabkan penderita sangat terganggu baik fungsional, kosmetik maupun psikologis (Widowati, 1993).
Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas, tapi dapat disebabkan oleh karena kedinginan pada muka, infeksi telinga tengah, tumor pada intrakranial, fraktur pada os temporal, meningitis, hemorhage, penyakit-penyakit infeksi dan gangguan lainnya yang jarang dijumpai. Bell’s palsy biasa terjadi pada segala usia, sering dijumpai pada usia 20 – 50 tahun, dan angka kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun. Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang. Angka kejadian Bell’s palsy 20 – 25 per 100.000 populasi. Lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki, terutama pada wanita hamil dan penderita diabetes.
Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasalahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Serta participation restriction yang berupa kurang percaya diri. Untuk dapat menyelesaikan berbagai macam problematik yang muncul pada kondisi Bell’s palsy, fisioterapis mempunyai peranan penting di dalamnya, antara lain fisioterapis dapat membantu mengatasi permasalahan kapasitas fisik pada pasien, mengembalikan kamampuan fungsional pasien serta memberi motivasi dan edukasi pada pasien untuk menunjang keberhasilan terapi pasien. Berdasarkan hal inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat kondisi Bell’s palsy sebagai malakalah.
Walaupun masih menjadi peredebatan diantara para ahli mengenai terapi yang sesuai untuk kasus Bell’s palsy, sementara ini teknologi fisioterapi yang dapat diaplikasikan kepada pasien antara lain (1) pemanasan dengan infra red, (2) massage, (3) stimulasi elektris, (4) terapi latihan dengan menggunakan cermin (mirror exercise), (5) edukasi kepada pasien. Adapun untuk pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Pemanasan dengan IR bertujuan untuk merileksasikan dan meningkatkan aliran darah superficial (Foster, 1981). Pemberian stimulasi elektris bertujuan untuk mencegah atau memperlambat terjadinya atrofi otot sambil menunggu proses regenerasi, dan memperkuat otot yang masih lemah setelah proses regenerasi saraf selesai (Thamrinsyam, 1991). Pada saat massage, tangan akan merangsang reseptor sensorik dari kulit dan jaringan subcutaneous sehingga dapat memberikan efek rileksasi dan mengurangi kaku pada wajah (Tappan, 1988). Pada kondisi Bell’s palsy pemberian terapi latihan dengan menggunakan cermin (mirror exercise) selain memberikan biofeedback juga bertujuan untuk mencegah terjadinya kontraktur dan melatih kembali gerakan volunter pada wajah pasien (Widowati, 1993).

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks, sehingga dalam penulisan karya tulis ini, dapat dirumuskan sebagai berikut: apakah pemberian teknologi fisioterapi berupa infra red, electrical stimulation, massage, mirror exercise serta edukasi dapat meningkatkan kemampuan fungsional otot wajah pasien?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini sesuai dengan rumusan masalah, yaitu mengetahui manfaat pemberian teknologi fisioterapi berupa infra red, electrical stimulation,massage, mirror exercise serta edukasi dalam meningkatkan kemampuan fungsional otot wajah pasien.







BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kondisi/Kasus yang dikaji

1. Definisi

Bell’s palsy adalah lesi pada nervus VII (nervus fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik) (Thamrinsyam, 1991)
Menurut literatur lain, Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif , non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat oedema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Dalam definisi tersebut, penekanan diadakan pada kejinakan penyakit dan pada proses edema bagian nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus. Mungkin sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses masuk angin (catch cold, exposed to chill), oleh karena pada kebanyakan penderita dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka, tidur dilantai, atau setelah bergadang (Sidharta, 1999).




2. Anatomi fungsional

Untuk dapat mengetahui kasus dan permasalahan yang terjadi pada kondisi Bell’s palsy maka terlebih dahulu harus diketahui tentang stuktur anatomi wajah yang terdiri dari (1) miologi otot-otot wajah, (2) persyarafan wajah.
a. Miologi Otot Wajah
1) Sifat-sifat fisiologis otot
Seperti halnya otot rangka, otot wajah juga memiliki sifat-sifat fisiologis sebagai berikut (1) iritabilitas, yaitu kemampuan otot untuk menerima rangsang, (2) konduktifitas, yaitu kemampuan otot meneruskan rangsang ke seluruh sel-sel otot, (3) kontraktilitas, yaitu kemampuan berkontraksi, (4) elastisitas, yaitu kemampuan otot untuk kembali seperti semula setelah mengalami penguluran dan (5) ekstensibilitas, yaitu kemampuan otot untuk diulur tanpa mengalami kerusakan.
b. Persyarafan wajah
Nervus fasialis atau saraf otak ke VII tersusun dari dua bagian yaitu saraf motorik dan saraf sensorik yang sering disebut dengan saraf intermedius. Inti motorik yang merupakan penyusun utama saraf fasialis terletak di pons. Serabutnya mengitari inti nervus VI dan keluar di bagian lateral pons, sedangkan saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons. Kedua saraf ini kemudian bersatu membentuk berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan terus menuju os mastoid. Setelah melewati os mastoid kedua saraf keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan bercabang untuk mensarafi otot-otot wajah. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.1.
Namun selain mensyarafi otot-otot ekspresi wajah , saraf fasialis juga membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan selaput mukosa rongga mulut dan hidung, menghantar berbagai jenis sensasi, termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah (Lumbantobing, 1998).
Inti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan bawah. Inti bagian atas mensarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mensarafi otot wajah bagian bawah. Inti nervus fasialis bagian bawah mendapat innervasi kontralateral dari korteks somatomotorik dan inti nervus fasialis bagian atas mendapat inervasi dari kedua belah korteks somatomotorik.
Oleh karena itu, pada paresis nervus fasialis UMN (karena lesi di korteks atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot wajah atas tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN (karena lesi infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-duanya jelas lumpuh.









Gambar 2.1
Otot-otot wajah yang disarafi oleh nervus VII (Sobotta, 2005)
Keterangan gambar

1. M.Frontalis
2. M.Corrugator supercili
3. M.Procerus
4. M.Orbicularis oculi
5. M.Nasalis
6. M.Depresor anguli oris

7. M.Zygomaticum mayor
8. M.Zygomaticum minor
9. M.Orbicularis oris
10.M.Buccinator
11.M.Mentalis
12.M.Platysma


Untuk lebih jelasnya mengenai fungsi, persarafan serta tempat perlekatan dari masing-masing otot wajah dapat dilihat pada tabel 2.1
TABEL 2.1
OTOT-OTOT WAJAH YANG DISARAFI OLEH NERVUS VII
No Nama Otot Origo Insertio Fungsi Persarafan
1

2


3


4


5

6


7.

8.

9.



10.





11.


12. M.Frontalis


M.Corrugator supercili


M.Procerus



M.Orbicularis Oculli



M. Nasalis


M. Depresor anguli oris


M. Zigomaticum mayor

M. Zigomaticum minor.


M. Orbicularis oris




M. Buccinator








M. Mentalis



M. Platysma Margo supra orbitalis

Os.Frontalis,pars nasalis


Tulang dorsumnasi


Maxilla , proc .Frontalis, sudut mata bagian medial.

Diatas akar denscaninus.

Dasar mandibula


Os Zigomaticum facies lateralis.

Os Zigomaticum facies lateralis.


Pars marginalis dan Pars labialis sebelah lateral angulus oris.

Bagian belakang proc. Alveolaris maxillae,Raphe pterygomandibularis,bagian belakang Proc.alveolare mandibulare.

Jugum alveolare gigi seri lateral bawa

Basis mandibulae, Fascia parotidea
Galea oponeurotika.

Kulit alis mata



Kulit glabella



Disekeliling aditus orbitae



Tendo diatas hidung.

Angulus oris dan labium inferior.

Angulus oris


Angulus oris



Bagian utama bibir




Angulus oris








Kulit dagu



Kulit dibawah clavicula, fascia pectoralis. Mengangkat alis


Mendekatkan kedua pangkal alis


Mengernyitkan hidung


Menutup kelopak mata



Mengembangkan cuping hidung.

Menarik ujung mulut ke bawah


Tersenyum


Tersenyum



Bersiul





Meniup sambil menutup mulut







Mengangkat dagu



Meregangkan kulit leher. N. Temporalis


N. Zigomatikum dan
N.Temporalis.

N.Zigomatikum, N.Temporalis,
N. Buccal.

N.Fasialis, N.Temporalis, N. Zigomatikus


N. Fasialis


N. Fasialis



N. Fasialis


N. Fasialis



N. Fasialis
N. Zigomatikum




N. Fasialis,
N.Zigomatikum,
N. Mandibular,
N. Buccal





N. Fasialis dan N. Buccal


N. Fasialis
( Sobotta, 2005 )
3. Etiologi

Sampai saat ini penyebab Bell’s palsy masih belum diketahui, menurut Hardi Pranata, penyebab Bell’s palsy yakni angin yang masuk ke dalam tengkorak atau foramen stylomastoideum. Angin dingin ini membuat saraf di sekitar wajah sembab lalu membesar. Pembengkakan saraf fasialis ini mengakibatkan pasokan darah ke saraf tersebut terhenti. Hal itu menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu. Akibatnya, perintah otak untuk mnenggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan. Syaraf fasialis ini terjepit hingga akhirnya kelumpuhan terjadi.
Namun ada beberapa teori yang secara umum diajukan sebagai penyebab Bell’s palsy,yaitu:
a. Teori Ischemia Vaskuler
Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke saraf fasialis. Gangguan ini menyebabkan vasokonstriksi arteriole dan adanya statis vena.
b. Teori Infeksi Virus
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy dapat disebabkan oleh karena virus herpes simplek.
c. Teori Herediter
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy bisa disebabkan karena keturunan, dimana kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim.







4. Patologi

Pada kasus Bell’s palsy, seperti telah dikemukakan diatas, apapun etiologi awal pada kondisi ini proses akhir yang dianggap sebagai proses patologis terjadinya Bell’s palsy adalah proses oedema yang menyebabkan kompresi pada saraf VII. Sebagaimana saraf perifer lainnya, proses patologi pada kasus Bell’s palsy yang sesuai dengan tingkat kerusakan saraf perifer adalah (1) neuropraksia, yaitu suatu paralysis dimana saraf hanya tertekan sehingga terjadi hambatan aliran impuls, tanpa kerusakan atau degenerasi pada akson dan selubung myelin Sehingga apabila tekanan ini hilang maka fungsi saraf akan kembali sempurna dengan cepat. Keadaan ini sering disebut dengan blockade aksonal fisiologik. Disini ketiga unsur serabut saraf (akson, selubung myelin dan neurilema) tidak mengalami kerusakan, (2) aksonotmesis, yaitu suatu paralysis dimana saraf mengalami penekanan yang cukup kuat sehingga akson disebelah distal lesi akan mengalami kematian atau degenerasi, pada kondisi ini yang mengalami kerusakan hanya aksonnya saja sedangkan selubung myelinnya masih utuh, (3) neuronotmesis, yaitu suatu paralysis dimana seluruh batang saraf terputus, pada kondisi ini seluruh unsur serabut saraf di distal lesi mengalami kerusakan.

5.Tanda dan gejala klinis

Pada pasien Bell’s palsy tanda dan gejala klinisnya biasanya timbul secara mendadak, pada awalnya pasien merasakan kelainan pada mulutnya saat bangun tidur , menggosok gigi, berkumur, minum, atau berbicara. Terdapat nyeri yang bervariasi di sekitar telinga atau styloid dan mastoid ipsilateral, kemudian diikuti kelemahan otot-otot wajah dalam waktu beberapa jam atau hari. Terjadi ganguan pengecapan lidah ( manis, asin, asam ) ( Setiawan, 2007 ). Biasanya mulut menjadi tertarik ke sisi sehat, kelopak mata pada sisi lesi tidak dapat menutup rapat, dan tidak dapat mengangkat alis mata pada sisi lesi serta hilangnya ekspresi wajah (Griffith, 1994).

6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada kasus Bell’s palsy antara lain:
a. Kontraktur otot-otot wajah
Kontraktur dapat terlihat jelas pada wajah saat berkontraksi, keadaan ini ditandai dengan lebih dalamnya lipatan nasobial dan lebih rendahnya alis mata sisi yang lesi bila dibandingkan dengan sisi yang sehat (Widowati, 1992).
b. Clonic facial (hemificial spasm)
Clonic facial spasm yaitu terjadinya gerakan secara spontan dari otot-otot wajah, baik pada sisi wajah yang lumpuh maupun pada sisi wajah yang sehat. Namun bila mengenai kedua sisi wajah maka tidak terjadi bersama-sama pada kedua sisi (Sabirin, 1996).
c. Synkinesis
Synkinesis merupakan gerakan asosiasi yang terjadi secara involunter karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut otot yang salah. Pada kondisi ini otot tidak dapat digerakkan satu per satu, sebagai contoh bila pasien disuruh memejamkan mata maka otot orbicularis oris pun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat (Lumbantobing, 1998).
d. Crocodile tear phenomenon
Crocodile tear phenomenon adalah keluarnya air mata pada saat pasien makan. Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom. Pada kondisi normal serabut otonom seharusnya menuju ke kelenjar saliva, namun karena regenerasi yang salah serabut otonom menuju ke kelenjar lakrimalis (Sabirin, 1996).

7. Diagnosis Banding

Untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy kita harus mengetahui beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding untuk kasus ini, yaitu:
a. Herpes Zoster Otikus
Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikuli. Gambaran penyakit ini dikuasai seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga (Sidharta, 1999).
b. Otitis Media Supurativa dan mastoiditis
Ostitis Media bisa menyebabkan paresis fasialis apabila terjadi kerusakan tulang yang mendidingi kanalis fasialis. Dan keadaan ini selalu menimbulkan nyeri di dalam kepala ( Sidharta, 1999).
c. Trauma
Trauma juga dapat menimbulkan paresis fasialis, hal ini terutama terjadi pada kondisi trauma capitis, yang hampir selamanya mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur os temporal yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto rongent. Perdarahan dan likwor mengiringi paresis fasialis perifer traumatik (Sidharta,1999).
d. Facial palsy tipe sentral
Pada kelumpuhan wajah tipe ini terliht jelas bahwa otot-otot bagian bawah tampak lebih lumpuh dari pada bagian atasnya. Sudut mulut sisi yang lesi terlihat lebih rendah, lipatan nasolabial sisi yang lumpuh lebih mendatar, otot wajah bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti selain itu juga tidak dijumpai adanya tanda dari bell (Sidharta,1999).
e. Sindroma Guillain Barre dan Miastenia Gravis
Pada kedua penyakit ini, paresis fasialis hampir selamanya bilateral. Perjalanan kedua penyakit ini adalah khas. Lagi pula, pada kedua penyakit itu kelumpuhan otot wajah tidak berdiri sendiri. Otot-otot bulber dan otot-otot okuler sering timbul bersama-sama dengan paresis fasialis.

8. Prognosis

Bell’s palsy memang merupakan kondisi yang tidak berbahaya, namun kebanyakan pasien merasa cukup terganggu. Luasnya jaringan saraf yang rusak menentukan lamanya proses penyebuhan. Perbaikan berlangsung secara bertahap dan bervariasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis yang baik adalah umur relatif muda, masa awitan pendek serta tes eksibilitas yang menunjang(Widowati, 1993).
Sedangkan menurut Peitersen 85% penderita menunjukkan tanda kemajuan pertama pada tonus dan gerak otot di dalam 3 minggu pertama. 15% sisanya dengan degenerasi komplit, 11% menunjukkan tanda perbaikan sesudah 3 bulan, 3% pada bulan ke-4, 1% pada bulan ke-5 dan seorang penderita sesudah 6 bulan dari onset (Thamrinsyam, 1991)

B. Deskripsi Problematika Fisioterapi

Problematika fisioterapi yang dijumpai pada pasien dengan kondisi Bell’s palsy adalah: (1) Impairment, (2) Functional limitation, (3) Participation of restriction.

1. Imparment
Impairment yang sering terjadi pada kondisi Bell’s palsy adalah adanya asimetris pada wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi yang lesi, adanya penurunan kekuatan otot wajah pada sisi yang lesi , potensial terjadi spasme dan perlengketan jaringan, dan potensial terjadi iritasi pada mata sisi yang lesi.
2. Functional limitation
Adanya ganguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti menutup mata, berkumur, mengunyah, makan dan minum, ganguan bicara dan adanya gangguan ekspresi.
3. Participation restriction
Pasien cenderung menarik diri dari pergaulan karena kurang percaya diri dengan kondisi wajahnya.

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

1. Infra Red (IR)

Pada dasarnya generator infra red dibagi menjadi dua jenis yaitu generator non luminous dan luminous, yang mana perbedaan antara kedua jenis generator tersebut terletak pada jenis sinar yang terkandung pada tiap generator. Perbedaan kandungan sinar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (1) generator non luminous, yaitu generator yang hanya terdiri dari sinar infra red saja sehingga pengobatan menggunakan jenis ini sering disebut “infra red radiation” dan (2) generator luminous, yaitu generator yang disamping mengandung infra red, generator ini juga terdiri dari sinar ultra violet, pengobatan dengan menggunakan generator jenis ini sering disebut sebagai “radiant heating”.(Sujatno, dkk, 2002)

a. Metode aplikasi IR
Pada dasarnya metode pemasangan IR dapat diatur sedemikian rupa sehingga sinar yang berasal dari lampu jatuh tegak lurus terhadap daerah yang di terapi, hal ini berlaku untuk penggunaan lampu baik jenis luminous maupun non luminous. Pada kondisi Bell’s palsy sinistra, IR dapat diaplikasikan pada wajah sisi kiri dan region sekitar foramen stilomastoideus selama 15 menit. Jarak pemasangan pada lampu luminous antara 35-45 cm sedangkan untuk pemasangan jenis non luminous antara 45-60 cm. Namun jarak ini bukan merupakan jarak yang mutlak diberikan karena jarak pemasangan lampu masih dipengaruhi oleh toleransi pasien dan besarnya watt lampu (Sujatno, dkk, 2002).
b. Efek fisiologis pemberian IR
Efek-efek fisiologis yang dihasilkan oleh IR secara umum antara lain:
1). Meningkatkan proses metabolisme
Seperti telah dikemukakan oleh hukum Vant’t Hoff bahwa suatu reaksi kimia dapat dipercepat dengan adanya panas atau kenaikan temperatur akibat pemanasan sehingga proses metabolisme menjadi lebih baik.
2). Vasodilatasi pembuluh darah
Dengan adanya vasodilatasi pembuluh darah maka sirkulasi darah menjadi meningkat, sehingga pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan ditingkatkan, dengan demikian kadar sel darah putih dan antibodi didalam jaringan tersebut akan meningkat. Dengan demikian pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap agen penyebab proses radang juga semakin baik.
3). Mempengaruhi jaringan otot
Adanya kenaikan temperatur disamping membantu terjadinya rileksasi juga akan meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi.
4). Dapat menyebabkan destruksi jaringan
Ini bisa terjadi apabila penyinaran yang diberikan menimbulkan kenaikan temperatur jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga diluar toleransi pasien.
5). Menaikkan temperatur tubuh
Penyinaran yang luas yang berlangsung dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan kenaikan temperatur tubuh.
6). Mengaktifkan kerja kelenjar keringat
Pengaruh rangsangan panas yang di bawa ujung-ujung saraf sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat di daerah jaringan yang diberikan penyinaran atau pemanasan. Pengeluaran keringat ini kalau berlebihan bisa menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit tubuh.
c. Efek terapeutik
Efek terapeutik yang dihasilkan dari pemberian IR antara lain (1) mengurangi atau menghilangkan nyeri, (2) rileksasi otot, (3) meningkatkan suplai darah dan, (4) menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme. (Sujatno, dkk, 2002)
d. Kontra indikasi
Beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian IR adalah (1) jaringan yang mengalami insufisiensi pada darah, (2) gangguan sensibilitas kulit dan, (3) adanya kecenderungan terjadi perdarahan. (Sujatno, dkk, 2002).

2. Massage
Pada kondisi Bell’s palsy otot-otot wajah pada umumnya terulur kearah sisi yang sehat, keadaan ini dapat menyebabkan rasa kaku pada wajah sisi yang sakit. Sehingga dengan pemberian massage pada kasus Bell’s palsy bertujuan untuk merangsang reseptor sensorik dan jaringan subcutaneous pada kulit sehingga memberikan efek rileksasi dan dapat mengurangi rasa kaku pada wajah (Tappan, 1988).
a. Teknik-teknik massage pada wajah
Teknik-teknik massage yang biasa digunakan pada kasus Bell’s palsy antara lain Stroking, effleurage, finger kneading dan tapotement.
Stroking adalah manipulasi gosokan yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan yang bertujuan untuk meratakan pelicin keseluruh wajah pasien. Effleurage adalah gerakan ringan yang berirama, yaitu melakukan gerakan ataupun gosokan yang dilakukan dengan menggunakan tiga jari tangan diberikan sesuai letak serabut otot-otot wajah menuju ke telinga. Finger kneading adalah pijatan jari-jari tangan yang dilakukan dengan cara melingkar dan disertai dengan tekanan pada kulit dan jaringan-jaringan lunak subcutan. Pijatan ini diberikan pada seluruh otot-otot wajah dengan arah gerakan menuju ke telinga. Tapotement adalah manipulasi dengan memberikan tepukan-tepukan yang berirama yang dapat diberikan secara manual ataupun dengan menggunakan bantuan alat, pada kasus Bell’s palsy salah satu teknik tapotement yang diberikan adalah slapping. Slapping merupakan sapuan dari ujung-ujung jari yang dilakukan secara tepat dan berirama (Tappan, 1988).
b. Aplikasi massage pada wajah
Aplikasi massage dapat diberikan sejak awal terjadinya Bell’s palsy. Masssage dapat dimulai dengan pemberian gentle massage yang berupa stroking dan effleurage. Untuk effleurage pada otot-otot wajah tekanan yang diberikan tidak boleh terlalu kuat karena keadaan serabut otot-otot wajah lebih halus bila dibandingkan dengan serabut otot-otot skeletal, selanjutnya massage dapat dilanjutkan pemberian finger kneading terutama pada wajah sisi sehat, massage dapat diakhiri dengan memberikan tapotement yang berupa slapping pada wajah sisi lesi (Tappan, 1988).
c. Efek-efek mekanis pemberian massage
Pada pasien Bell’s palsy adanya tekanan yang diberikan secara melingkar pada kulit dan jaringan subcutan dapat menimbulkan efek sebagai berikut: membantu meningkatkan aliran darah dan dapat mencegah terjadinya perlengketan jaringan (Rahim, 2002).
d. Efek-efek fisiologis pemberian massage
Efek fisiologis yang dimaksud disini adalah efek yang ditimbulkan oleh massage terhadap fungsi dari proses yang terjadi pada tubuh. Efek-efek fisiologis pemberian massage tersebut antara lain (1) memperbaiki kualitas kulit, (2) mempercepat proses regenerasi sel, (3) meningkatkan aktivitas sirkulasi darah limfa dan (4) mempengaruhi fungsi sekretor eksternal dan internal dari kulit. Namun dari semua efek diatas, efek fisiologis terpenting yang bisa kita dapatkan dari aplikasi massage pada kondisi Bell’s palsy adalah bahwa massage secara perlahan atau gentle akan mengaktifkan sirkulasi dan nutrisi dalam jaringan sehingga mempertahankan fleksibilitas jaringan tersebut dan juga akan meningkatkan elastisistas jaringan, selain itu pemberian massage dengan menggunakan teknik slapping yang berirama cepat akan meningkatkan tonus otot sehingga baik diberikan sebagai pre-liminary atau persiapan sebelum melakukan terapi latihan (Rahim, 2002).
e. Indikasi pemberian massage
Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian massage menurut Meyer (2000), antara lain: (1) spasme otot, (2) nyeri, (3) kasus-kasus oedema, (4) kasus-kasus perlengketan jaringan dan (5) kasus- kasus kontraktur .

f. Kontra indikasi pemberian massage
Masssage tidak selalu dapat diberikan pada semua kasus, ada beberapa kondisi yang menurut Meyer (2000), merupakan kontra indikasi pemberian massage, yaitu (1) daerah yang mengalami infeksi, (2) penyakit-penyakit dengan ganguan sirkulasi, seperti: tromboplebitis, arteriosclerosis berat, (3) adanya tumor ganas, (4) daerah peradangan akut dan (5) daerah-daerah yang mengalami gangguan insufisiensi darah.
3. Electrical Stimulation

a. Metode aplikasi ES
Pada kondisi Bell’s palsy teknik aplikasi ES yang sesuai adalah dengan menggunakan metode individual (motor point), metode individual merupakan suatu stimulasi elektrik yang ditujukan pada individual otot sesuai dengan fungsinya melalui motor point, motor point sendiri adalah titik peka rangsang yang terletak di superficial kulit. Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk mendidik fungsi otot secara individual baik yang letaknya superficial maupun dalam (deep).
b. Efek fisiologis pemberian ES
1. Reaksi elektrokimiawi
Pada saat penggunaan ES akan terjadi ionisasi dan elektrolisis di dalam tubuh terutama pada jaringan dibawah katode, dibawah katode akan terjadi konsentrasi NaOH, sedang dibawah anode akan terjadi konsentrasi HCL. Apabila konsentrasi NaOH dibawah katode tinggi , maka akan menimbulkan rangsangan yang bersifat nociseptif yang dapat menyebabkan jaringan nekrotik. Sehingga penggunaan intensitas tinggi sering diikuti rasa nyeri, terutama dibawah katode.
2. Permeabilitas membran
Membran dibawah katode akan terjadi hipopolarisasi , artinya muatan diluar membran bersifat lebih negatif sehingga akan membuka ion. Karena katoda menimbulkan hipopolarisasi, sehingga akan mengubah sifat ambang ransang menjadi lebih rendah. Dengan demikian katoda lebih efektif digunakan sebagai aktif electrode, karena dengan intensitas kecil mampu menimbulkan aksi potensial. Sedangkan anode lebih bersifat hiperpolariasasi artinya meningkatkan kepadatan ion positif diluar membran sehingga tress hold akan naik. Pada aplikasi ES anode lebih disebut sebagai pasif electrode.
3. Syaraf motoris
a. Kontraksi otot skeletal
IDC yang diberikan pada saraf motoris akan menimbulkan potensial aksi pada serabut saraf.
b. Peningkatan kekuatan otot
Otot yang bekontraksi berulang-ulang secara volunter akan meningkat kekuatannya.
c. Perbaikan system vaskularisasi
Otot yang berkontraksi secara terus menerus akan memacu terjadinya muscle pumping contraction sehingga metabolisme lebih lancar, termasuk pembuangan sisa asam laktat, disatu sisi muscle pumping contraction akan menimbulkan pumping action pada pembuluh balik vena.
4. Saraf sensoris
Seperti diketahui bahwa fungsi otot skelet yang utama adalah untuk memelihara sikap dan untuk mengadakan gerakan. Kedua fungsi tersebut selalu didampingi oleh rangsang pada propiosensorik yang secara timbal balik saling menunjang. Dengan demikian peningkatan kekuatan otot yang berarti adanya peningkatan gerak sendi dan penambahan aktivitas stabilitas aktif, akan diperoleh peningkatan propiosensorik.
c. Efek terapeutik
1. Memberikan fasilitasi kontraksi otot
Pada kondisi kelainan saraf tepi sering menimbulkan gejala klinis berupa atrofi otot yang disertai kelayuhan atau parese, maka untuk membantu menimbulkan kontraksi maka diberikan stimulasi elektris agar memfasilitasi sel-sel motoris, sehingga kontrasi terjadi.
2. Mendidik kerja otot
Pada otot yang kerjanya secara individual, apabila terjadi kelainan harus distimulasi secara individual pula, supaya berkontraksi secara fungsional berdasarkan kerja otot tersebut.
3. Mendidik fungsi atau kerja otot baru
Pada kondisi tendon transverse pelaksanaan ES sering dilakukan untuk mensubtitusi otot yang paralysis.
d. Kontra indikasi
Pemberian stimulasi elektris berupa ES tidak direkomendasikan pada kondisi sebagai berikut: adanya kecenderungan adanya perdarahan pada daerah yang diterapi, keganasan pada daerah yang diterapi, luka bakar yang dangat lebar, kondisi infeksi, pasien yang mengalami hambatan komunikasi, kondisi dermatologi pada area yang diterapi, dan hilangnya sensasi sentuh dan tusuk pada area yang diterapi.

4. Terapi latihan dengan menggunakan cermin (Mirror Exercise)

Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan yang menggunakan cermin yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan –gerakan pada wajah baik secara aktif maupun pasif. Pada kondisi Bell’s palsy, latihan yang dilakukan didepan cermin akan memberikan biofeedback, yang dimaksud dengan biofeedback adalah disini adalah mekanisme kontrol suatu sistem biologis dengan memasukkan kembali keluaran yang dihasilkan dari system biologis tersebut, dengan tujuan akhir untuk memperoleh keluaran baru yang lebih menguntungkan system tersebut (Widowati, 1993). Selain itu dengan latihan didepan cermin pasien dapat dengan mudah mengontrol dan mengkoreksi gerakan yang dilakukan.
Latihan yang dapat diberikan pada pasien antara lain mengangkat alis, mengkerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul.

5. Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan pada pasien Bell’s palsy dapat berupa penjelasan secara umum mengenai penyakit yang dialami oleh pasien dan apa saja yang sebaiknya dilakukan dan dihindari oleh pasien, hal ini penting dilakukan karena proses penyembuhan Bell’s palsy juga dapat dipengaruhi oleh perilaku ataupun kebiasaan pasien seperti tidur dengan menggunakan kipas angin yang dihadapkan secara langsung ke wajah, dan tidur lansung dilantai tanpa menggunakan alas atau kasur dengan posisi wajah menempel pada lantai. Edukasi lain yang dapat diberikan berupa pencegahan terhadap terjadinya iritasi pada mata pasien. Edukasi tersebut dapat berupa anjuran untuk menutup mata pada sisi yang sakit pada saat tidur dengan menggunakan tisu atau penutup mata yang lain dan pasien dianjurkan untuk menggunakan obat tetes mata setelah seharian beraktivitas (Griffith,1994). Serta pasien dianjurkan untuk mengkompres pada sisi lesinya dan pada bagian belakang telinga dengan menggunakan air hangat dan handuk kecil.




BAB III


PENATALAKSANAAN STUDI KASUS

A. Pengkajian Fisioterapi

Proses pemeriksaan fisioterapi pada kasus Bell’s palsy dimulai dari anamnesis, diikuti dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan gerak, dan pemeriksaan khusus.

1. Pengkajian data

a. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada kondisi Bell’s palsy sinistra ini menggunakan metode auto anamnesis. Dari anamnesis yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2008 diperoleh data sebagai berikut:
1). Identitas pasien
Data yang diperoleh berupa: nama pasien: Tn. Maryono, umur: 32 th,jenis kelamin: Laki-laki, agama: islam, pekerjaan: wiraswasta, alamat: Sumbang RT 2/5, Banteran, Banteran.
2). Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien dengan kondisi Beel’s palsy sinistra ini adalah mulut deviasi ke kanan.
3). Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang dimulai sejak tanggal 5 Mei 2008, pasien mengeluh bibir sebelah kanan tidak dapat bergerak, alis kanannya juga tidak bisa bergerak dan saat memejamkan mata tidak bisa rapat, wajah sebelah kanan terasa kesemutan dan tebal-tebal, kemudian diperiksakan ke dokter saraf di Karanganyar disana di berikan terapi berupa arus faradik dan laser. Terapi sudah berjalan 4x tetapi belum tampak adanya perubahan. Setelah itu pasien dibawa ke RSUD Moewardi dengan kondisi sekarang pasien wajahnya mencong ke sebelah kiridan mengeluh telinga kanan bagian belakang terasa nyeri.
4). Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
5). Riwayat penyakit penyerta
Tidak ada riwayat penyakit lain yang menyertai kondisi pasien.
6). Riwayat pribadi
Riwayat pribadi pasien diketahui bahwa pasien seorang pelakar kelas 1 SMP dengan kegiatan sekolah yang cukup padat, yang sering berangkat pagi pulang sampai sore dengan menggunakan sepeda ontel.
7). Riwayat keluarga
Riwayat keluarga diketahui bahwa tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah menderita penyakit serupa.
8). Anamnesis system
Dari anamnesis sistem diperoleh informasi sebagai berikut: (1) kepala dan leher, tidak ada keluhan pusing, leher tidak merasa kaku, (2) kardiovaskuler, tidak ada keluhan, (3) respirasi, tidak ada keluhan, (4) gastrointestinal, tidak ada keluhan, (5) urogenitalis, tidak ada keluhan, (6) muskuloskeletal, terdapat kelemahan otot wajah sebelah kanan,spasme otot wajah bagian kiri(7) nervorum, tidak ada kesemutan pada wajah kiri, terdapat nyeri di belakang telinga kanan karena adanya penekanan nerves facialis.



b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi: pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerak (meliputi aktif dan pasif), kemampuan fungsional dan lingkungan aktivitas.
1). Tanda-tanda vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh data sebagai berikut: (1) tekanan darah: 130/90 mmHg, (2) denyut nadi: 80 kali/menit, (3) pernafasan: 20 kali/menit , (4) temperatur: 37°C, (5) tinggi badan: 140 cm, (6) berat badan: 35 kg.
2). Inspeksi
Inspeksi statis didapatkan kondisi umum pasien baik, mata sebelah kanan berair, wajah pasien deviasi /mencong kesisi kiri atau asimetris,alis pada sisi yang lesi atau kanan lebih rendah daripada yang kiri.Inspeksi dinamis didapatkan saat mengangkat alis, kerutan dahinya hanya terlihat pada sisi yang sehat, saat menutup mata sisi yang sakit belum dapat menutup mata dan terlihat pergerakan bola mata,saat bersiul dan tersenyum wajah kanan belum bisa simetris atau masih mencong ke kiri.
3). Palpasi
Dari palpasi dirasakan suhu wajah antara sisi kanan dan kiri teraba sama, ada spasme pada otot-otot wajah yang sebelah kanan, terdapat nyeri tekan pada bagian belakang telinga, pada sisi yang lesi atau kanan terasaa lebih kendor dari pada yang kiri.
4). Perkusi
Perkusi dilakukan pada daerah wajah sisi kanan dan belakang telinga bagian bawah dan hasilnya tidak ada keluhan.


5). Auskultasi
Dilakukan dengan alat stetoskop pada daerah lapang paru dan hasilnya vesikuler.
6). Pemeriksaan gerak
Pemeriksaan gerak aktif pada sisi yang lesi atau kanan gerakan mengkerutkan dahi, mendekatkan kedua alis,terdapat hasil ada gerakan minimal yang bisa dilakukan, kemudian pada gerakan mecucu, menutup mata, mengkerutkan hidung ke atas, tersenyum pasien belum bisa melakukan.
Pada pemeriksaan gerak pasif yang dilakukan pada sisi yang lesi atau kanan gerakan mengerutkan dahi, mendekatkan kedua alis, mencucu , bersiul, menutup mata, mengkerutkan hidung ke atas, dan tersenyum dapat dilakukan sampai keposisi simetris.
Pada pemeriksaan gerak isometris melawan tahanan pada sisi yang lesi atau kanan belum mampu dilakukan oleh pasien.
7). Kognitif, intrapersonal, interpersonal
Pemeriksaan kognitif , diketahui pasien mampu mengetahui orientasi ruang dan waktu. Pemeriksaan intrapersonal, diketahui keinginan pasien untuk sembuh cukup tinggi. Pemeriksaan interpersonal, diketahui pasien cukup komunikatif dengan terapis.
8). Kemampuan fungsional dan lingkungan aktivitas
Kemampuan fungsional dasar tampak bahwa saat mengkerutkan dahi dapat dilakukan dengan kontraksi minimal, gerakan menggerakkan alis ketengah dapat dilakukan dengan kontraksi otot yang minimal, bersiul, mencucu, bersiul belum dapat dilakukan pasien, gerakan menutup mata belum dapat dilakukan pasien, gerakan mengangkat hidung keatas belum dapat dilakukan.
Aktivitas fungsional, aktivitas makan dan minum terganggu, saat minum air tumpah kesisi kanan dan saat makan makanan terkumpul disisi kanan.
Lingkungan aktivitas dirumah dan disekolah mendukung untu8k sembuh, dirumah pasien tidak menggunakan kipas angin saat tidur, pasien tidur tidak ditempat yang suhunya dingin, pasien tidak sering keluar malam. Disekolahan ruangan tidak menggunakan AC.
c. Pemeriksaan spesifik
1). Tanda bell
Tanda bell yang terlihat pada pasien yaitu saat mengkerutkan dahi, lipatan kulit dahi hanya terlihat pada sisi sehat, dan saat memejamkan mata, bola mata hanya terlihat sedikit.
2). Pemeriksaan kekuatan otot-otot wajah dengan MMT
Untuk penilaian kekuatan otot-otot wajah digunakan skala Daniels-Worthingham yang meliputi empat tingkatan penilaian yaitu: (1) zero (nol) : tidak ada kontraksi, (2) trace (satu) : kontraksi minimal, (3) fair (tiga) : kontraksi nyata tapi dilakukan dengan susah payah, (4) normal (lima) : kontraksi penuh dan terkontrol (Daniels and Worthingham’s, 1986). Pada penilaian ini pasien diminta untuk melakukan gerakan yang menggunakan otot-otot wajah, seperti mengkerutkan dahi, mendekatkan kedua alis, menutup mata, mengkerutkan hidung, tersenyum, dan mencucu.
TABEL 3.1
HASIL PEMERIKSAAN KEKUATAN OTOT-OTOT WAJAH
Nama otot Dextra Sinintra
M. Frontalis 1 5
M. Corrugator supercilli 1 5
M. Orbicularis oculli 1 5
M. Nasalis 1 5
M. Zigomaticum 1 5
M. Orbicularis oris 1 5

3). Pemeriksaan kemampuan fungsional dengan Skala Ugo Fisch
Pemeriksaan kemampuan fungsional otot wajah dengan Skala Ugo Fisch dinilai dalam 5 posisi yang berbeda, yaitu saat diam, mengkerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Dengan kriteria penilaian sebagai berikut: (1) 0% : asimetris komplit, tiak ada gerakan volunter, (2) 30% : simetris ringan, kesembuhan kearah asimetris, ada gerakan volunter, (3) 70% : simetris sedang, kesembuhan kearah simetris, (4) 100% : simetris komplit (Thamrinsyam, 1991)
Kemudian angka prosentase pada masing-masing posisi harus diubah menjadi score dengan kriteria sebagai berikut: (1) diam :20, (2) mengkerutkan dahi : 10, (3) menutup mata : 30, (4) tersenyum : 30, (5) bersiul : 10 (Thamrinsyam, 1991)
TABEL 3.2
HASIL PEMERIKSAAN FUNGSIONAL OTOT WAJAH
Posisi wajah Score
Istirahat 20 ×30% = 6
Mengkerutka dahi 10 × 0% = 0
Menutup mata 30 × 30% = 9
Tersenyum 30 × 30% = 9
Bersiul 10 × 0% = 0
Jumlah = 24


2. Permasalahan Fisioterapi
Dari pemeriksaan yang telah dilakukan, problematika fisioterapi yang dijumpai adalah:
a. Keterbatasan fisik (impairment)
Keterbatasan fisik (impairment) yang dijumpai pada pasien dengan kondisi Bell’s palsy sinistra ini adalah: (1) adanya rasa kaku dan tebal pada wajah sisi kanan, (2) adanya kelemahan otot-otot wajah pada sisi kanan, (3) potensial terjadinya spasme dan perlengketan jaringan pada wajah sisi kanan (sehat), (4) ada nyeri pada bagian belakang telinga kanan.
b. Keterbatasan fungsi (functional of limitation)
Keterbatasan fungsi yang dirasakan oleh pasien dengan kondisi Bell’s palsy sinistra ini adalah: (1) adanya gangguan saat minum dan berkumur karena air keluar dari sisi kanan, (2) adanya gangguan saat makan karena makanan terkumpul di mulut sisi kanan, (3) adanya gangguan ekspresi wajah.
c. Participation of restriction
Pada pasien ini tidak ada gangguan dalam bersosialisasi, pasien cenderung malu dan menarik diri dari pergaulan dilingkungan masyarakat dan sekolah.

3. Tujuan Fisioterapi

Tujuan fisioterapi dibuat berdasarkan rumusan problematika yang dialami oleh pasien, hal ini bertujuan agar terapi yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Sesuai dengan problematik diatas maka tujuan fisioterapi pada kasus Bell’s palsy sinistra meliputi (1) mengurangi rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, (2) meningkatkan kekuatan otot-otot wajah pada sisi lesi, (3) mencegah potensial terjadinya spasme dan perlengketan jaringan pada wajah di sisi kiri, (4) mengurangi nyeri pada telinga bagian belkang sisi lesi, (5) meningkatkan kemampuan aktivitas yang menggunakan otot-otot wajah seperti makan , minum, berkumur, berbicara, menutup mata dan ekspresi wajah.

B. Pelaksanaan Fisioterapi

1. Pemanasan dengan IR

Pemberian terapi panas menggunakan IR dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Persiapan alat
Persiapan alat yang dilakukan meliputi jenis lampu (disini penulis menggunakan jenis non luminous),kemudian terapis memeriksa kabelnya, setelah dapat dipastikan bahwa lampu aman untuk digunakan kemudian terapis menyiapkan alat pengatur waktu selama 15 menit, terakhir terapis menyiapkan handuk dan tisu yang akan digunakan untuk menutup mata pasien.
b. Persiapan pasien
Pasien diminta untuk tidur terlentang dengan senyaman mungkin, kepala beralaskan bantal dengan wajah miring kearah sisi wajah yang sehat (miring ke kiri). Wajah yang akan diterapi dibersihkan terlebih dahulu. Pasien diberitahu tentang manfaat terapi dan mengenai panas yang dirasakan, yaitu rasa hangat. Bila ternyata ada rasa panas yang menyengat, pasien diminta segera memberitahu pada terapis.
c. Pelaksanaan terapi
Pertama-tama pasien diberikan tisu untuk menutup mata dan menghindari mata dari sorot lampu, kemudian lampu diposisikan tagak lurus dengan wajah sisi kiri, jarak diatur antara 45-60 cm, alat pengatur waktu dipasang selama 10 menit, kemudian lampu dihidupkan.

2. Massage
Pemberian massage dengan berbagai teknik dilakukan dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut:
a. Persiapan alat
Dalam pelaksanaan massage alat yang dibutuhkan hanya tisu dan pelicin berupa bedak.
b. Persiapan pasien
Posisi pasien terlentang dengan kepala disangga bantal. Sebelum diterapi wajah dibersihkan dengan handuk. Pasien diberi keterangan tentang teknik-teknik terapi yang akan diaplikasikan serta manfaat dari pemberian massage.
c. Pelaksanaan terapi
Massage pertama-tama dilakukan dengan memberikan pelicin pada wajah dengan menggunakan teknik stroking, kemudian pelicin diratakan dengan teknik effleurage, dimana arahnya sesuai dengan arah serabut otot yaitu sisi wajah yang sehat (kiri) ditarik kearah telinga dari sisi wajah yang lesi (kanan), dengan tekanan ringan. Setelah itu terapis memberikan finger kneading pada wajah sisi yang sehat. Massage diakhiri dengan memberikan slapping terutama pada wajah sisi lesi. Massage diberikan selama 10 menit.

3. Stimulasi Elektris

a. Posisi pasien
Tidur terlentang di atas tempat tidur dengan rilek
b. Posisi terapis
Disebelah kanan atau pada sisi yang lesi

c. Pelaksanaan
Pemeriksaan alat, periksa kabel, tombol menu, dan intensitas harus dalam keadaan nol dan periksa pet yang digunakan kemudian pemasangan alat dengan menaruh katode dibagian cervikal dan anode diletakkan pada masing-masing titik motor poin otot-otot wajah , dalam pelaksanaan setiap mengganti titik motor poin yang dituju arus intensitas harus direndahkan atau dalam posisi nol dan saat menaikkan intensitas pelan-pelan sampai terlihat kontraksi yang terjadi, tanyakan pada pasien sudah pas, terlalu rendah atau tinggi. Setelah selesai matikan alat dan alat ditata kembali. Untuk dosis terapi menggunakan arus faradik dengan intensitas toleransi pasien yaitu 3 mA dan waktu 15 menit.

4. Terapi latihan dengan menggunakan cermin (mirror exercise)

Terapi dengan menggunakan cermin (mirror exercise) membutuhkan partisipasi baik dari pasien maupun terapis. Pada saat inilah merupakan waktu yang tepat untuk membangun motivasi dan kepercayaan diri pasien. Tahap-tahap pelaksanaannya meliputi :
a. Persiapan alat
Alat yang digunakan adalah cermin.
b. Persiapan pasien
Pasien di posisikan duduk di depan cermin, sedangkan fisioterapis berdiri di samping pasien. Pasien diberikan keterangan mengenai manfaat dari terapi ini.
c. Pelaksanaan terapi
Pertama-tama terapis memberikan contoh gerakan-gerakan yang harus dilakukan oleh pasien kemudian pasien diminta untuk menirukan gerakan-gerakan tersebut, terapis memperhatikan dan mengkoreksi apabila ada gerakan yang keliru, terapi dilakukan selama 10 menit. Apabila pasien belum bisa menggerakkan otot-ototnya maka terapis bisa membantu dengan cara pasif.
Pada saat latihan ini penulis memodifikasi dengan memberi tahanan (resisted) ringan pada setiap gerakan yang dilakukan oleh pasien. Sebelumnya terapis memberikan contoh tahanan-tahanan yang harus dilakukan, kemudian pasien melakukannya sendiri.

5. Edukasi

Edukasi yang dapat diberikan pada pasien adalah (1) pasien diminta untuk menghindari udara dingin secara lansung pada wajah, (2) pasien dianjurkan untuk menggunakan tetes mata setelah seharian beraktivitas, ini bertujuan untuk mencegah iritasi pada mata, (3) pasien dianjurkan untuk mengompres pada wajah dan telinga bagian belakang, dengan cara menggunakan handuk kecil dan air hangat kemudian ditempelkan pada wajah sisi lesi dan pada daerah telinga belakang, selama 10 menit, (4) pasien dianjurkan untuk melakukan massage pada wajah selama 10 menit, dengan arah dari wajah sisi sehat (kanan) ditarik kearah telinga wajah sisi lesi (kiri), dan dengan tekanan ringan, hal ini bertujuan agar tidak merusak serabut otot pada wajah. (5) setelah di massage pasien dianjurkan untuk melakukan latihan di depan cermin, dengan gerakan seperti mengangkat alis, mendekatkan kedua alis, menutup mata, mengkerutkan hidung, tersenyum, bersiul.










C. Evaluasi Hasil Terapi

1. Evaluasi kekuatan otot-otot wajah dengan MMT
TABEL 3.3
HASIL EVALUASI KEKUATAN OTOT-OTOT WAJAH
Nama otot 12-4-2008
T1 14-4-2008
T2 18-4-2008
T3
M. Frontalis 1 1 3
M. Corrugator supercilli 1 1 1
M. Orbicularis occuli 1 3 3
M. Nasalis 1 1 1
M. Zigomaticum 1 1 3
M. Orbicularis oris 1 1 3

2. Evaluasi fungsional otot-otot wajah dengan Skala Ugo Fisch
TABEL 3.4
HASIL EVALUASI FUNGSIONAL OTOT-OTOT WAJAH
Posisi wajah Score 12-4-2008
T1 14-4-2008
T2 18-4-2008
T3
Diam 20 30% 30% 70%
Mengkerutkan dahi 10 0% 0% 30%
Menutup mata 30 30% 30% 30%
Tersenyum 30 30% 30% 30%
Bersiul 10 0% 30% 30%
Jumlah 24 27 38



D. Hasil Terapi Akhir

Seorang pasien yang bernama Hayu Arum Sari, umur 12 tahun dengan diagnosa bell’s palsy dextra, setelah diberikan terapi sebanyak 2x dengan modalitas fisioterapi berupa IR, massage, ES dan mirror excercise memperlihatkan adanya sedikit kemajuan yang berupa :
1) Saat gerakan mengangkat alis, menutup mata, tersenyum dan bersiul terlihat adanya kontraksi yang jelas, tapi masih terlihat belum simetris.
2) Adanya peningkatan kekuatan pada sebagian otot- otot wajah.
3) Adanya peningkatan kemampuan fungsional pada sebagian otot-otot wajah.